Wednesday, 10 September 2008

Mekanisme Pasar Menurut Ekonomi Islam

Oleh : Slamet Wiharto

I. Pendahuluan.

Peranan ekonomi Islam dalam mengatur mekanisme kegiatan pasar pada saat dewasa ini merupakan faktor yang sangat penting, bagi majunya dan berkembangnya perekonomian dunia pada umumnya dan khususnya bagi bangsa Indonesia, yang sekarang ini laju perekonomiannya masih cukup lambat, setelah krisis moneter singgah dinegara yang kita cintai ini.
Dua paham ekonomi yang selama ini menjadi acuan dan barometer dunia, yaitu ekonomi kapitalis dan ekonomi sosialis ternyata tidak dapat mengatur mekanisme kegiatan pasar saat ini yang serba tidak menentu dan tidak jelas, malah semakin memperparah keadaan. Ekonomi Islam yang lebih dahulu lahir, sekitar abad ke VI, eksistensinya cenderung diabaikan dan dilupakan. Ekonomi Islam lahir semenjak diturunkannya wahyu Allah (ayat-ayat suci Al-Quran) melalui Rasullnya yaitu Nabi Muhammad SAW. Al-Quran sebagai pedoman hidup atau The Way of Live yang komprehensif, yang termasuk mengatur di dalamnya kehidupan bermuamalah, terutama di bidang ekonomi.
Allah SWT mewahyukan agama Islam ini di tanah yang memiliki ekonomi yang tinggi yaitu kepada Bangsa Arab. Bangsa Arab adalah merupakan suatu bangsa yang peradaban kegiatan berekonominya sudah maju dan sudah berkembang pesat dibandingakan dengan bangsa-bangsa di dunia lainnya. Bangsa Arab sudah berpengalaman selama tak kurang dari ratusan tahun dalam kegiatan berekonomi. Bangsa Arab telah melakukan kegiatan ekonomi di jalur perdagangan ketika itu yang terbentang dari Yaman sampai kedaerah-daerah mediteranian. Ajaran Islam yang diwahyukan oleh Nabi Muhammad SAW, Nabi besar kita yang terlahir dari keluarga pedagang, Rasulullah menikah dengan seorang saudagar kaya yaitu Siti Khadijah dan beliaupun melakukan perjalanan berdagang dan bertransaksi sampai kenegeri Syiria.
Kemajuan pembangunan ekonomi dan teori ekonomi, banyak diilhami dan dipengarui oleh kemunculannya budaya Islam yang banyak memberikan kontribusi yang sangat besar, bagi kemajuannya. Pada abad keenam belas, diperkirakan pemahaman yang sudah maju mengenai definisi dan fungsi pasar, telah ditemukan pada bahan kajian akademik para sarjana. Sejarah peradaban kuno sebagai bahan kajian perbandingan, diperkirakan kajian para sarjana muslim mempengaruhi perkembangan pemikiran di sekolah tersebut.

II. Mekanisme Pasar Menurut Islam.

Islam memacu umatnya untuk melakukan berbagai kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial, salah satunya adalah kegiatan berdagang. Berdagang adalah aktivitas yang paling umum yang dilakukan di dalam pasar. Pasar memainkan peranan yang sangat penting dalam sistem perekonomian. pasar memiliki fungsi strategis, yaitu sebagai sebuah wadah bertemunya para produsen (penjual) dan konsumen (pembeli) dalam kegiatan perdagangan. Kedua pihak tersebut akan saling mempengaruhi dan menentukan harga. Kesepakatan keduanya dalam menentukan harga, haruslah saling memuaskan satu sama lain dan saling ridha. Pencapaian terhadap kepuasan sebagaimana tersebut tentunya haruslah diproses dan ditindak lanjuti secara berkesinambungan, dan masing-masing pihak hendaknya mengetahui dengan jelas apa dan bagaimana keputusan yang harus diambil dalam pemenuhan kepuasan ekonomi tersebut. Islam memiliki rambu-rambu dan aturan main yang dapat diterapkan dipasar dalam upaya menegakan kepentingan semua pihak, rambu dan aturan tersebut terdapat dalam Al-Quran dan Hadist. Seperti dalam Al-Quran Surah Al-Furqan ayat 7.

Surah Al-Furqan ayat 7 :
7. Dan mereka berkata: "Mengapa rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia?,

Surah Al-Furqan ayat 20 :
20. Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan Kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. Maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu Maha Melihat.

Banyak para pemikir-pemikir ekonomi Islam yang berbicara mengenai mekanisme pasar menurut konsep Islam tentunya, seperti diantaranya, Abu Yusuf (731-798), Abdul Hamid Al-Ghazali (1058-1111), Ibnu Taimiyah (1263-1328), dan yang terakhir Ibnu Khaldun (1332-1404).

A. Mekanisme Pasar Menurut Abu Yusuf (731-798).
Para sarjana muslim telah menulis jauh sebelum para skolastik Eropa abad pertengahan yang menawarkan diskursus mekanisme pasar dan penetapan harga yang lebih rinci dan canggih. Catatan yang paling awal ditemukannya mengenai peningkatan dan penurunan produksi yang berkaitan dengan perubahan suatu harga adalah yang dikemukakan oleh Abu Yusuf.
Abu Yusuf adalah seorang mufti pada kekhalifahan Harun Al-Rasyid. Ia menulis buku pertama tentang sistem perpajakan dalam Islam yang berjudul Kitab Al-Kharaj. Buku ini ditulis berdasarkan permintaan khalifah untuk digunakan sebagai panduan manual perpajakan.
Berbeda dengan pemahaman saat itu yang beranggapan bila tersedia sedikit barang maka hrga akan mahal dan sebaliknya, Abu Yusuf menyatakan, “Tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan. Murah bukan karena melimpahnya makanan, demikian juga mahal tidak disebabkan kelangkaan makanan. Murah dan mahal adalah ketentuan Allah. Kadang-kadang makanan berlimpah, tetapi tetap mahal dan kadang-kadang makanan sangat sedikit tetapi murah.” (Abu Yusuf, Kitab Al-Kharaj Beirut: Dar al-Ma’rifah,1979,hlm.48).[1]
Bahwa peryataan Abu Yusuf diatas sepertinya menyangkal pendapat umum tentang hubungan terbalik antara penawaran dan harga. Pada kenyataannya, harga tidak bergantung pada penawaran saja, tetapi juga bergantung pada kekuatan permintaan. Karena itu, peningkatan atau penurunan harga tidak selalu berhubungan dengan penurunan atau peningkatan dalam produksi, Abu Yusuf menegaskan bahwa ada variabel lain yang mempengaruhi, tetapi dia tidak menjelaskan lebih rinci. Bisa jadi variabel itu adalah pergeseran dalam permintaan atau jumlah uang yang beredar disuatu negara, atau penimbunan dan penahanan barang, atau semua hal tersebut. Patut dicatat bahwa Abu Yusuf menuliskan teorinya sebelum Adam Smith menulis The Wealth of Nations.
Karena Abu Yusuf tidak membahas lebih rinci apa yang disebutkannya sebagai variabel lain, ia tidak menghubungkan fenomena yang diobservasinya terhadap perubahan dalam penawaran uang. Namun, pernyataannya tidak menyangkal pengaruh dari permintaan dan penawaran dalam penentuan harga (Muhammad Nejatullah Siddiqi, Abu Yusuf Ma’ahi fikr, Economic Thought of Abu Yusuf, in Fikr va Najar (Aligarh), vol 5, No. 1, Januari 1964, hlm. 86).[2]
Menurut Muhammad Nejatullah Siddiqi, ucapan Abu Yusuf harus diterima sebagai pernyataan hasil pengamatannya saat itu, yakni keberadaan yang bersamaan antara melimpahnya barang dan tingginya harga serta kelangkaan barang dan harga rendah.[3]

B. Mekanisme Pasar Menurut Abdul Hamid Al-Ghazali (1058-1111).
Pandangan Abdul Hamid Al-Ghazali (1058-1111), Mungkin cukup mengejutkan jika dia menyajikan penjabaran yang rinci akan peranan aktivitas perdagangan dan timbulnya pasar yang harganya bergerak sesuai kekuatan permintaan dan penawaran. Maklum ia dikenal sebagai ahli tasawuf. Bagi Ghazali, pasar merupakan bagian dari “keteraturan alami”. Secara rinci dia juga menerangkan bagaimana evolusi terciptanya pasar.
Al-Ghazali mengatakan “Dapat saja petani hidup dimana alat-alat pertanian tidak tersedia. Sebaliknya, pandai besi dan tukang kayu hidup dimana lahan pertanian tidak ada. Namun secara alami, mereka akan saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Dapat pula terjadi tukang kayu membutuhkan makanan,tetapi petani tidak memerlukan alat-alat tersebut atau sebaliknya. Keadaan ini menimbulkan masalah. Oleh, karena itu, secara alami pula orang-orang akan terdorong untuk menyediakan tempat peyimpanan alat-alat di satu pihak dan tempat penyimpanan hasil pertanian di pihak lain. Tempat inilah yang kemudian didatangi pembeli sesuai dengan kebutuhannya masing-masing sehingga terbentuklah pasar. Petani,tukang kayu, dan pandai besi yang tidak dapat langsung melakukan barter, juga terdorong pergi kepasar ini. Bila dipasar juga tidak ditemukan orang yang mau melakukan barter, ia akan menjual pada pedagang dengan harga yang relatif murah untuk kemudian disimpan sebagai persediaan. Pedagang kemudian menjualnya dengan suatu tingkat keuntungan. Hal ini berlaku untuk setiap jenis barang.” (Ihya Ulumuddin, III:227).[4]
Imam Ghazali juga secara eksplisit menjelaskan perdagangan regional. Al-Ghazali mengatakan, “ Selanjutnya praktek-praktek ini terjadi di berbagai kota dan negara. Orang –orang melakukan perjalanan keberbagai tempat untuk mendapatkan alat-alat makanan dan membawanya ketempat lain. Urusan ekonomi orang diorganisasikan dikota-kota dimana tidak seluruh makanan dibutuhkan. Keadaan inilah yang pada gilirannya menimbulkan kebutuhan terhadap alat transportasi. Terciptalah kelas perdagangan regional dalam masyarakat. Motifnya tentu saja mencari keuntungan. Para pedagang ini bekerja keras memenuhi kebutuhan orang lain dan mendapat keuntungan, dan keuntungan ini akhirnya dimakan oleh orang lain juga.” (Ihya,III:227).[5]
Jelaslah, Imam Ghazali menyadari kesulitan sistem barter, perlunya spesialisasi dan pembagian kerja menurut regional dan sumber daya setempat. Ia juga menyadari pentingnya perdagangan untuk memberikan nilai tambah dengan menyediakannya pada waktu dan tempat dibutuhkan.
Ghazali tidak menolak kenyataan bahwa keuntungnlah yang menjadi motif perdagangan. Lebih Jauh, Ghazali menjabarkan pentingnya peran pemerintah dalam menjamin keamanan jalur perdagangan demi kelancaran perdagangan dan pertumbuhan ekonomi. Akhirnya ia memberikan definisi yang jelas tentang etika bisnis. (Ihya, II:75, 78, 79).[6]
Walaupun Ghazali tidak menjelaskan permintaan dan penawaran dalam terminologi modern, beberapa paragraf dari tulisannya jelas menunjukan bentuk kurva penawaran dan permintaan. Untuk kurva penawaran yang “naik dari kiri bawah kekanan atas”dinyatakan oleh dia sebagai”jika petani tidak mendapatkan pembeli dan barangnya, ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah (Ihya, III:227).[7] Sementara untuk kurva permintaan yang”turun dari kiri atas kekanan bawah”dijelaskan oleh dia sebagai “harga dapat diturunkan dengan mengurangi permintaan.”(Ihya, III:87).[8]
Untuk zamannya, agak mengejutkan bahwa Ghazali telah pula paham akan konsep elastisitas permintaan “Mengurangi margin keuntungan dengan menjual pada harga yang lebih murah akan meningkatkan volume penjualan dan ini pada gilirannya akan meningkatkan keuntungan.” (Ihya, II:80).[9] Bahkan ia telah pula mengidentifikasikan produk makanan sebagai komoditas dengan kurva permintaan yang inelastis. “Karena makanan adalah kebutuhan pokok, perdagangan makanan harus seminimal mungkin didorong oleh motif mencari keuntungan untuk menghindari eksploitasi melalui pengenaan harga yang tinggi dan keuntungan yang besar. Keuntungan semacam ini seyogyanya dicari dari barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan pokok.” (Ihya, II:73).[10]
Imam Ghazali dan juga para pemikir pada zamannya ketika membicarakan harga biasanya langsung mengaitkannya dengan keuntungan. Keuntungan belum secara jelas dikaitkan dengan pendapatan dan biaya. Bagi Ghazali keuntungan adalah kompensasi dari kepayahan perjalanan, resiko bisnis, dan ancaman keselamatan diri sipedagang (Ihya, IV,110).[11] Walaupun, ia tidak setuju dengan keuntungan yang berlebih untuk menjadi motivasi pedagang. Bagi Ghazali keuntunganlah yang menjadi motivasi pedagang. Namun bagi Ghazali keuntungan sesungguhnya adalah keuntungan diakherat kelak (Ihya, II:75-6, 84).[12]

C. Mekanisme Pasar Menurut Ibnu Taimiyah (1263-1328).
Ibnu Taimiyah jelas tidak pernah membaca Wealth of Nations karena ia hidup lima abad sebelum kelahiran Adam Smith, bapak ekonomi klasik yang menulis buku termasyur itu. Namun, ketika masyarakat pada masanya beranggapan bahwa peningkatan harga merupakan akibat dari ketidakadilan dan tindakan melanggar hukum dari pihak penjual atau mungkin sebagai akibat manipulasi pasar, Taimiyah langsung membantahnya. Dengan tegas, ia mengatakan bahwa harga ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan.
Ia menyatakan bahwa naik dan turunnya harga tidak selalu disebabkan oleh tindakan tidak adil dari sebagian orang yang terlibat transaksi. Bisa jadi penyebabnya adalah penawaran yang menurun akibat inefisiensi produksi, penurunan jumlah impor barang-barang yang diminta atau juga tekanan pasar. Karena itu, jika permintaan terhadap barang meningkat, sedangkan penawaran menurun, harga barang tersebut akan naik. Begitu pula sebaliknya. Kelangkaan dan melimpahnya barang mungkin disebabkan dengan tindakan yang adil atau mungkin juga karena tindakan yang tidak adil (Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa Shaykh al-Islam, VIII:583).[13]
Menurut Taimiyah, penawaran bisa datang dari produksi domistik dan impor. Perubahan dalam penawaran digambarkan sebagai peningkatan atau penurunan dalam jumlah barang yang ditawarkan, sedangkan permintaan sangat ditentukan oleh selera dan pendapatan. Besar-kecilnya kenaikan harga bergantung pada besarnya perubahan penawaran dan atau permintaan. Bila seluruh transaksi sudah sesuai aturan, kenaikan harga yang terjadi merupakan kehendak Allah (Ibnu Taimiyah, al-hisbah fi al-Islam, 24).[14] Hal tersebut menunjukan sifat pasar yang impersonal. Dibedakan pula dua faktor penyebab pergeseran kurva penawaran dan permintaan, yaitu tekanan pasar yang otomatis dan perbuatan melanggar hukum dari penjual, misalnya penimbunan.
Adapun faktor lain yang mempengaruhi penawaran dan permintaan antara lain adalah intensitas dan besarnya permintaan, kelangkaan atau melimpahnya barang, kondisi kepercayaan, serta diskonto dari pembayaran tunai. Permintaan terhadap barang acap kali berubah-ubah. Perubahan tersebut bergantung pada jumlah penawaran, jumlah orang yang menginginkannya, lemah-kuatnya dan besar-kecilnya kebutuhan terhadap barang tersebut. Bila penafsiran ini benar, Ibnu Taimiyah telah mengasosiasikan harga tinggi dengan intensitas kebutuhan sebagaimana kepentingan relatif barang terhadap total kebutuhan pembeli. Bila kebutuhan kuat dan besar, harga akan naik. Demikian pula sebaliknya.
Harga juga di pengaruhi oleh tingkat kepercayaan terhadap orang-orang yang terlibat dalam transaksi. Bila seseorang cukup mampu dan terpercaya dalam membayar kredit, penjual akan senang melakukan transaksi dengan orang tersebut. Namun, apabila kredibilitas seseorang dalam masalah kredit telah diragukan, penjual akan ragu untuk melakukan transaksi dengan orang tersebut dan cenderung memasang harga tinggi. Demikian juga dengan melakukan kontrak (Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa, op.cit, XXIX:523-525).[15]
Ibnu Taimiyah mengemukakan relevansi antara kredit terhadap penjualan. Implikasinya yaitu transaksi kredit merupakan hal yang wajar. Ketika menetapkan harga, para penjual harus memperhitungkan ketidakpastian pembayaran pada masa mendatang. Ia juga menengarai kemungkinan penjual menawarkan diskon untuk transaksi tunai. Argumen Ibnu Taimiyah bukan hanya menunjukan kesadarannya mengenai kekuatan penawaran dan permintaan, melainkan juga perhatiannya pada insentif, disinsentif, ketidakpastian, dan resiko yang terlibat dalam transaksi pasar. Keduanya menunjukan kontribusi yang berarti terhadap analisis ekonomi, terutama ketika seseorang berada pada era Ibnu Taimiyah menulis.
Harus dicatat disini bahwa Ibnu Taimiyah tidak pernah menggunakan istilah kompetisi (konsep yang muncul pada akhir evolusi pemikiran ekonomi) ataupun menjelaskan kondisi dari kompetisi sempurna dalam istilah kontemporer. Karena itu, ia kemudian menulis bahwa untuk memaksa orang agar menjual berbagai benda yang tidak diharuskan untuk menjualnya atau melarang mereka menjual benda-benda yang diperbolehkan untuk dijual, adalah tidak adil dan karenanya melanggar hukum (Ibnu Taimiyah, al-Hisbah, 41).[16] Dalam istilah kontemporer, hal ini secara jelas merujuk pada kebebasan penuh untuk masuk atau keluar pasar.
Lebih jauh, ia mengkritik adanya kolusi antara pembeli dan penjual (ibid,hlm.25).[17] Ia menyokong homogenitas dan standarisasi produk dan melarang pemalsuan produk serta penipuan pengemasan produk untuk dijual (ibid, hlm 21).[18] Penekanannya terhadap pasar dan komoditas, seperti juga kontrak jual beli, bergantung pada izin, dan izin memerlukan pengetahuan dan pemahaman (ibid, hlm.49, 50).[19]
Ibnu Taimiyah menentang peraturan yang berlebihan ketika kekuatan pasar secara bebas bekerja untuk menentukan harga yang kompetitif. Dengan tetap memperhatikan pasar tidak sempurna, ia merekomendasikan bahwa bila penjual melakukan penimbunan dan menjual pada harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga normal, padahal orang-orang membutuhkan barang ini, maka para penjual diharuskan untuk menjualnya pada tingkat harga ekuivalen (ibid, hlm.25).[20] Secara kebetulan, konsep ini bersinonim dengan apa yang disebut harga yang adil. Lebih jauh bila ada elemen-elemen monopoli (khususnya dalam pasar bahan makanan dan kebutuhan pokok lainnya), Pemerintah harus turun tangan melarang kekuatan monopoli (ibid hlm. 25-26).[21]
D. Mekanisme Pasar Menurut Ibnu Khaldun (1332-1404).
Ibnu Khaldun adalah ulama besar dan juga dikenal sebagai bapak ilmu ekonomi. Karya monumental Ibnu Khaldun adalah al-Muqaddimah yang menulis secara khusus satu bab berjudul “ Harga-harga di kota-kota”. Ia membagi jenis barang menjadi barang kebutuhan pokok dan barang mewah. Menurut dia, bila suatu kota berkembang dan selanjutnya populasinya bertambah banyak, harga-harga barang kebutuhan pokok akan mendapat prioritas pengadaannya. Akibatnya penawaran meningkat dan ini berarti turunnya harga. Adapun untuk barang-barang mewah, permintaannya akan meningkat sejalan dengan berkembangnya kota dan berubahnya gaya hidup. Akibatnya, harga barang mewah meningkat.
Ibnu Khaldun juga menjelaskan mekanisme penawaran dan permintaan dalam menentukan harga keseimbangan. Secara lebih rinci, ia menjabarkan pengaruh persaingan diantara konsumen untuk mendapatkan barang pada sisi permintaan. Setelah itu, ia pula menjelaskan pula pengaruh meningkatnya biaya produksi karena pajak dan pungutan-pungutan lain di kota tersebut, pada sisi penawaran (The Muqaddimah of Ibnu Khaldun, II:276-8).[22]
Pada bagian lain dari bukunya, Ibnu Khaldun menjelaskan pengaruh naik dan turunnya penawaran terhadap harga. Ia mengatakan, “ Ketika barang-barang yang tersedia sedikit, harga-harga akan naik. Namun, bila jarak antarkota dekat dan aman untuk melakukan perjalanan, akan banyak barang yang diimpor sehingga ketersediaan barang akan melilmpah, dan harga-harga akan turun” (ibid. 338).[23] Hal ini menunjukan bahwa Ibnu Khaldun, sebagaimana Ibnu Taimiyah, telah mengidentifikasikan kekuatan permintaan dan penawaran sebagai penentu keseimbangan harga.
Bahwa Al-Ghazali pernah menyatakan bahwa motif berdagang adalah mencari keuntungan (Ihya, II:73).[24] Ghazali juga menyatakan bahwa hendaknya motivasi keuntungan itu hanya untuk barang-barang yang bukan kebutuhan pokok. Keuntungan yang didefinisikan Ghazali adalah sebagai keuntungan di dunia maupun di akaherat.
Nah, Ibnu Khaldun menjelaskan secara lebih rinci. Menurut dia, keuntungan yang wajar akan mendorong tumbuhnya perdagangan, sedangkan keuntungan yang sangat rendah akan membuat lesu perdagangan karena pedagang kehilangan motivasi. Sebaliknya, bila pedagang mengambil keuntungan sangat tinggi, juga akan membuat lesu perdagangan karena lemahnya permintaan konsumen (ibid, 340-341).[25]

III. Kebijakan Harga Menurut Islam.

Dalam perspektif ekonomi Islam, pasar (market) mendapat kedudukan yang penting. Pada masanya, Rasulullah sangat menghargai harga yang terbentuk oleh pasar yang dikatakan beliau sebagai harga yang adil dan menyuruh umatnya agar mematuhi harga pasar ini. Beliau menolak untuk membuat kebijakan penetapan harga pada saat tingkat harga ketika itu di Madinah tiba-tiba naik. Sepanjang kenaikan terjadi karena kekuatan permintaan dan penawaran yang murni, yang tidak disertai dengan dorongan-dorongan monopolistik dan monopsonistik, maka tidak ada alasan untuk tidak menghormati harga pasar.
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh enam imam hadis utama (kecuali Al Nasai) seorang sahabat bertanya kepada rasulullah ”Wahai rasulullah tentukanlah harga untuk kita !”. Rasul menjawab, ”Allah itu sesungguhnya adalah penentu harga, penahan, pencurah, serta pemberi rezeki. Aku mengharapkan dapat menemui Tuhanku dimana salah seorang dari kalian tidak menuntutku karena kedzaliman dalam hal harta dan darah”
Hadis di atas maknanya, bahwa harga yang terbentuk di pasar merupakan hukum alam (sunnatullah), individu tidak dapat mempengaruhi pasar, sebab pasar adalah kekuatan kolektif yang telah menjadi kekuatan Allah. Pelanggaran terhadap harga pasar, yaitu penetapan harga merupakan suatu ketidakadilan (zulm/injustice) yang akan dituntut pertanggungjawabannya di hadapan Allah.

IV. Kaidah Fiqh dalam Mekanisme Pasar.

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa penentuan harga tidak terlepas dari kekuatan-kekuatan pasar, yaitu kekuatan permintaan dan kekuatan penawaran. Dalam konsep Islam, pertemuan permintaan dengan penawaran tersebut haruslah terjadi secara rela sama rela, tidak ada pihak yang merasa terpaksa untuk melakukan transaksi pada tingkat harga tersebut. Keseimbangan pasar terjadi pada saat perpotongan antara kurva supply dan demand dalam keadaan ’an taraddim minkum (rela sama rela). Bila ada yang mengganggu keseimbangan ini, maka pemerintah harus melakukan intervensi ke pasar. Seperti firman Allah dalam Surah An-Nisaa ayat 29.

Surah An-Nisaa ayat 29.
29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

Dalam hal harga, para ahli fiqh merumuskannya sebagai the price of the equivalent (istilah fiqihnya thaman al mithl). Konsep the price of the equivalen ini mempunyai implikasi penting dalam ilmu ekonomi, yaitu keadaan pasar yang kompetitif. Merupakan konsekuensi dari konsep tersebut, dalam ekonomi Islam, monopoli, duopoly, dan oligopoly dalam artian hanya ada satu penjual, dua penjual, atau beberapa penjual tidak dilarang keberadaannya, selama mereka tidak mengambil keuntungan di atas keuntungan normal.
Hadist Rasulullah SAW. Menjelaskan dengan lebih rinci tentang hal yang diperkenankan dalam transaksi perdagangan yang dilakukan oleh seorang muslim dalam bentuk larangan-larangan sesuai dengan kondisi yang saat itu terjadi. Beberapa hadist tersebut adalah :
“ Nabi melarang jual beli anak kambing yang masih dalam kandungan ibunya” (HR. Bukhari, Muslim, An-Nasa’I dan Tirmidzi). Artinya ” Nabi melarang jual beli ikan dalam air (HR. Ahmad). Artinya ” Nabi melarang adanya dua jenis transaksi dalam satu akad/kontrak (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasa’i). Artinya ” Janganlah kamu menjual sesuatu yang tidak dimiliki (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Tirmidzi). Artinya “ Nabi melarang menjual barang yang belum diserahterimakan” (HR. Bukhari dan Muslim). Artinya ” Nabi melarang kami berjual beli dengan Talaq ar-Rukhban dab Hadir al-Bad” (HR. Muslim). Artinya ” Nabi melarang jual beli dengan penawaran palsu” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari Inbu Abbas, ”Rasulullah SAW. Bersabda, ’ Jangan kamu mencegat orang-orang yang akan ke pasar di jalan sebelum mereka sampai di pasar’.” (Sepakat Ahli Hadist).

Dari Abu Hurairah, ” Rasulullah SAW. Telah bersabda, ‘ Janganlah diantara kamu menjual sesuatu yang sudah di beli oleh orang lain’.”(Sepakat Ahli Hadist).

Dari Ibnu Umar, ” Nabi SAW. telah melarang menjual buah-buahan sebelum buahnya tampak masak (pantas diambil).” (Sepakat ahli Hadist).

Dari Abu Hurairah. Ia berkata, ” Nabi SAW. telah melarang memperjualbeliakan barang yang mengandung tipu daya.” (Riwayat Muslim dan lainnya).

”Janganlah engkau menjual sesuatu yang engkau beli sebelum engkau terima ”.(Riwayat Ahmad dan Baihaqi).

Dari Abu Hurairah, ” Bahwasannya Rasulullah SAW. Pernah melalui onggokan makanan yang bakal dijual, lantas beliau memasukan tangan beliau kedalam onggokan itu, tiba-tiba didalamnya jari beliau meraba yang basah. Beliau keluarkan jari beliau yang basah itu, seraya berkata, ’Apakah ini ? ’ jawab yang punya makanan, ’ Basah karena hujan, ya Rasulullah. ’ Beliau bersabda, ’ Mengapa engkau tidak taruh di bagian atas supaya dapat dilihat orang ? Barang siapa yang menipu, maka ia bukan umatku’.” (Riwayat Muslim). Artinya ” Nabi melarang jual beli yang mengandung unsur tipu daya”. (HR. Muslim dan Ahmad).
Islam mengatur agar persaingan di pasar dilakukan dengan adil. Setiap bentuk yang dapat menimbulkan ketidakadilan dilarang, antara lain :
Talaqqi rukban dilarang karena pedagang yang menyongsong di pinggir kota mendapat keuntungan dari ketidaktahuan penjual dari kampung akan harga yang berlaku di kota. Mencegah masuknya pedagang ke kota ini (entry barrier) akan menimbulkan pasar yang tidak kompetitif.
Mengurangi timbangan dilarang karena barang dijual dengan harga yang sama untuk jumlah yang lebih sedikit.
Menyembunyikan cacat barang dilarang karena penjual mendapatkan harga yang baik untuk kualitas yang buruk.
Menukar kurma kering dengan kurma basah dilarang karena takaran kurma basah ketika kering bisa jadi tidak sama dengan kurma kering yang ditukar.
Menukar satu takar kurma kualitas bagus dengan dua takar kurma kualitas sedang dilarang, karena setiap kualitas kurma mempunyai harga pasarnya. Rasulullah menyuruh menjual kurma yang satu, kemudian membeli kurma yang lain dengan uang.
Transaksi Najasy dilarang karena si penjual menyuruh orang lain memuji barangnya atau menawar dengan harga tinggi agar orang lain tertarik.
Ikhtikar dilarang, yaitu mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi.
Ghaban fa hisy (besar) dilarang, yaitu menjual di atas harga pasar.

V. Kesimpulan.

Mekanisme pasar menurut Islam adalah suatu sistem mekanisme pasar yang diatur dalam Konsep Islam dan Konsep Islam memiliki rambu-rambu dan aturan main yang dapat diterapkan dipasar dalam upaya menegakan kepentingan semua pihak, rambu dan aturan tersebut terdapat dalam Al-Quran dan Hadist.

Daftar Pustaka

Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Adiwarman A. Karim, Gema Insani, 2001.
Fiqh Islam, Sulaiman Rasjid., Sinar Baru Algensinndo, 2001.
Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, Mustafa Edwin Nasution, Budi Setyanto, Nurul Huda, Muhammad Arief Mufraeni, Bey Sata Utama, Kencana Prenada Media Group, 2006.
Quran Player, “ Versi 2.0.1.0”, Copyright 2005 Wawan Sjachriyanto dari Ali Abdurrahman Al- Hudzaifi Muhammad Ayyub.
Beberapa Literatur dari Internet.

[1] Adiwarman A.Karim, Ekonomi Islam suatu kajian kontemporer, Gema Insani 2001, hlm. 154
[2] Ibid hlm. 156
[3] Ibid hlm. 156
[4] Ibid hlm 157
[5] Ibid hlm 158
[6] Ibid hlm 158
[7] Ibid hlm 158
[8] Ibid hlm 158
[9] Ibid hlm 158
[10] Ibid hlm 158
[11] Ibid hlm 159
[12] Ibid hlm 159
[13] Ibid hlm 160
[14] Ibid hlm 160
[15] Ibid hlm 161
[16] Ibid hlm 161
[17] Ibid hlm 161
[18] Ibid hlm 161
[19] Ibid hlm 162
[20] Ibid hlm 162
[21] Ibid hlm 162
[22] Ibid hlm 163
[23] Ibid hlm 164
[24] Ibid hlm 164
[25] Ibid hlm 164

No comments: